Pembayan dan semenda

Di dalam bahasa Minangkabau ada dua kata yang menunjukkan status laki-laki di dalam hubungan perkawinan. Kedua kata tersebut adalah pambayan dan sumando yang di dalam bahasa Indonesia menjadi pembayan dan semenda. Kedua kata ini tersua di dalam KBBI maupun kamus susunan WJS Poerwadarminta. Bahkan kata semenda tersirobok juga di dalam Undang-undang Perpajakan RI.

Untuk memahami kedua kata itu, orang harus paham diingatkan lagi bahwa masyarakat Minangkabau adalah masyarakat yang menganut garis keturunan matrilineal. Di dalam masyarakat Minangkabau, seorang laki-laki yang kawin dengan perempuan Minangkabau berarti ia juga kawin dengan keluarga atau kaum suku si perempuan. Si laki-laki pindah ke dalam keluarga si perempuan, namun tidak otomatis menjadi warga kaum suku si perempuan. Suku si laki-laki masih sama dengan suku sebelum ia menikah. Konsekuensinya, anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut otomatis juga menjadi anak dari kaum suku si perempuan. Misalnya, jika ibu si anak berasal dari suku Jambak dan bapaknya dari suku Sipisang, maka anak tersebut ikut menjadi anggota suku ibu, yaitu suku Jambak. Bapak bagaimanapun tetap kaum suku Sipisang.

Bagi kaum suku Jambak, atau keluarga si perempuan, laki-laki tadi disebut dengan urang sumando di dalam bahasa Minangkabau atau semenda di dalam bahasa Indonesia. Ia berstatus semenda dari suku Jambak karena perkawinannya dengan anak dari suku Jambak. Walau ia masuk ke dalam kaum suku tersebut, ia tetap “orang luar” bagi orang suku Jambak. Ia ibarat abu di atas tungku: angin datang, abu hilang terbang.
Itu pengertian semenda.

Jika si perempuan suku Jambak tadi memiliki satu orang anak perempuan lagi selain yang dikawini oleh laki-laki dari suku Sipisang tadi dan ia dikawini oleh laki-laki lain dari suku Payabadar, misalnya, maka hubungan pembayan muncul di sini.

Hubungan itu muncul antara laki-laki dari suku Sipisang dengan laki-laki dari suku Payabadar yang sama-sama mengawini dua orang perempuan yang bersaudara dari suku Jambak. Kedua semenda kaum suku Jambak itu adalah pembayan bagi yang lain.

 Walau hubungan tersebut unik karena kondisi adat Minangkabau, namun kedua kata tersebut telah terserap dan digunakan di dalam masyarakat Indonesia. Saya tidak tahu apakah akan bisa diterapkan di dalam masyarakat patrilineal. Namun, saya mendapatkan contoh yang mungkin sesuai belakangan ini.
Sarwo Edhi Wibowo memiliki tiga orang putri. Mereka ini kebetulan dinikahkan pada hari yang sama karena beliau tidak bisa terlalu sering meninggalkan posnya sebagai duta besar di Korea. Bagi keluarga besar Sarwo Edhi Wibowo—jika kita potong hingga di level tersebut, tidak merunut ke garis di atasnya—ketiga pria perwira pertama tersebut adalah semenda karena mereka kawin dengan anak perempuan dari keluarga tersebut. Sementara itu, bagi SBY, Hadi Utomo adalah pembayan, demikian juga sebaliknya.

Kedua istilah ini jika dipakaikan kepada Partai Demokrat juga valid. Karena kepala suku Demokrat adalah dua orang pembayan, maka setiap anggota yang lain adalah semenda bagi suku tersebut. Jika dianalogikan dengan adat Minangkabau, maka jangan-jangan tidak ada semenda yang punya hak di dalam rumah kaum suku Demokrat tersebut. Semua adalah abu di atas tungku.

Mudah-mudahan tidak demikian. Banyak partai lain yang juga begitu, seakan-akan hanya dikuasai satu keluarga




Pulau Lombok, Juli 2009
By Rahmat Febrianto On Sunday, July 5, 2009 At 8:17 AM