"Was" dan kata bentukannya

Dinukil dari:

Mawas Diri
Oleh Sugi Lanus
TEROKA-Kompas, 6 November 2010


Mawas diri, yang bersumber dalam kearifan lokal Nusantara, adalah panduan untuk menghindarkan kehidupan kita dari musibah dan bencana.

Kata mawas ini berasal muasal dari bahasa Jawa Kuna, yaitu was. Was = jelas, terang, dan tampak. Tersirat makna “dengar dengan jelas” atau “lihat dengan jelas”. Mawas berarti melihat atau mendengar dengan teliti dan sejelas-jelasnya sampai kita mencapai titik pemahaman atau sampai memiliki wawasan.

Bersikap “waspada” dan “awas” adalah implementasi mawas diri. “Awas” dan “waspada” juga berasal dari akar kata was. “Awas” berarti senantiasa memakai mata dan pikiran untuk tetap terjaga. Untuk melihat jalan hidup dengan jelas. Iwas dalam bahasa Bali berarti awas; iwasin berarti awasi, perhatikan, atau jaga.

Was + pada lebih jelas lagi sebagai “petunjuk teknis”; yang di dalamnya terkandung panduan untuk melihat atau memperhatikan (was) gerak dan langkah kaki (pada). Was = lihat. Pada = kaki. Pada juga berarti tanah atau bumi atau dunia. Waspada, dengan demikian, berarti berhati-hati dalam bertindak, berhati-hati dalam bergerak langkah, tidak lengah dengan menggerakkan kaki (tindak dan tanduk) kita. Juga berarti berhati-hati dalam menangkap fenomena bumi dan alam semesta.

“Waswas” justru berkebalikan dengan mawas. “Waswas”, jika kita urai dari muasal bentukan katanya, berarti “menoleh-noleh (ke belakang)”. Tidak nyaman, merasa terhantui, atau ketidakpastian akibat ketiadaan wawasan atau pemahaman terhadap apa yang terjadi. Penyembuh waswas adalah wawasan: mereka yang memiliki wawasan akan bisa mengusir rasa waswas.

Pengawasan, diawasi, dan mengawasi adalah beberapa bentukan kata yang berakar dari kata was atau awas. Kata “pengawasan” pada zaman Orde Baru bahkan dirangkai dengan kata “melekat”, muncul istilah “waskat” (pengawasan melekat), sebuah proyek negara untuk “memantau dan mengintai” secara intensif orang-orang yang dianggap berbahaya atau merongrong negara.


Mawas atas bencana

Untuk memantau sesuatu, sebuah kantor atau institusi memerlukan sistem pengawasan. Secara fisik, sebuah institusi perlu membuat menara pengawas.

Di “musim bencana” seperti sekarang, kita dituntut menjadi “mawas” secara kolektif. Pemimpin dan warga bangsa mesti mawas diri. Pengawasan terhadap titik-titik bencana alam, seperti gunung meletus dan tsunami, perlu diawasi dengan “waskat” (pengawasan melekat) yang lebih intensif. Titik-titik bencana tersebut memerlukan menara pengawas dan petugas yang sigap.

Petugas dan pemimpin dituntut mawas, awas, serta waspada dan sangat mendesak punya wawasan (ilmu pengetahuan) yang cukup karena mereka bertugas menjaga keselamatan ribuan, bahkan jutaan nyawa manusia.

Di saat ada getar gempa di sebuah lokasi, pengawas, tim yang telah dipersiapkan, harus bergerak seketika. Para pengawas ini harus terhubung dengan orang-orang kunci atau para pemimpin masyarakat. Selanjutnya, informasi tersebut disebarkan kewaspadaan ke seluruh jaringan masyarakat.


Kekuasaan yang Tiwas

Mawas diri, dalam konteks personal, menjaga diri kita agar tidak tergelincir ke dalam jebakan keangkuhan diri, takabur, keserakahan, nafsu, dan kuasa, dan seksual. Dalam konteks yang lebih luas, dalam tata pemerintahan, mawas diri bisa menjadi gerakan kewaspadaan nasional. Berjaringan secara strategis dan sistematis memetakan potensi bencana. Memetakan titik-titik rawan yang mengancam warga bangsa, yang merongrong rasa aman warga negara. Mereka harus dilengkapi dengan wawasan, perangkat, dan sistem pengawasan yang terbaik.

Kata “was” dekat dengan kata wasa. Was = lihat dan dengar dengan jelas. Wasa = kuasa. Wasa adalah akar kata dari “kuasa” dan “kekuasaan”. Jika kekuasaan (pemerintahan) menjadi “kuwasa” (aku berkuasa alias arogan), ia akan kehilangan was (kemampuan dan ketelitian untuk mendengar dan melihat). Pemerintahan akan menjadi “tiwas” (berakar dari neti + was = tanpa pengawasan dan tanpa pendengaran, tanpa mata-hati). Tiwas berarti lacur, hina-papa, miskin, dan juga menjadi asal kata “tewas” (tak bernyawa).

Kekuasaan tidak menuju ke tewas kalau mereka dengan ikhtiar dan kemurnian diri untuk terus-menerus mawas diri. Awas, eling, sadar, dan waspada. Mendengar hati rakyat dan menjadikan suara hati rakyat sebagai wawasan dan pemandu dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Rakyat tidak akan menjadi waswas kalau pemimpin mempunyai wawasan dan bermawasdiri. Jurang menuju musibah dan bencana (tiwas) sebuah peradaban bisa dihindari dengan mawas diri para pemimpin dan seluruh warganya.

Betapa arif bangsa kita dahulu. Hanya melalui bahasa, bahkan dalam bentukan satu morfem saja, kita bisa membaca diri, mendapatkan substansi, bahkan solusi. Tapi justru, di bagian inilah, di soal bahasa—dan kembangannya—bangsa kita, terutama kaum elit dan penguasanya, tidak berkuasa. Maka jika, bahasa itu adalah kuasa, sungguh kosong ruang dalam kekuasaan yang ada di negeri ini. Waspadalah…


Pulau Lombok

13 November 2010

Catatan penukil:
Bagaimana dengan makna kata “dewasa”?
By Rahmat Febrianto On Saturday, November 13, 2010 At 12:14 PM