Peringatan BMKG "dicabut" versus "berakhir"

Dua hari ini dua tv, yang merah dan yang biru, mempermasalahkan "pencabutan" peringatan dini tsunami oleh BMKG atas gempa 7,2 skala Richter yang lalu (versi USGS adalah 7,5 yang lalu dikoreksi-naik menjadi 7,7). Mereka mengistilahkan pencabutan itu sebagai "kekeliruan" tindakan BMKG sehingga bertanya apakah BMKG masih bisa dipercaya (saya dengar benar pertanyaan itu ditanyakan oleh KS!).


Pihak BMKG menjelaskan sangat baik tentang kriteria pengumuman peringatan dini tsunami. Menurut mereka peringatan itu dirilis jika gempa berskala 7 ke atas, terjadi di kedalaman 0-70 km, dan terjadi di laut. Untuk lebih akurat mereka butuh kriteria keempat yaitu apakah tumbukan lempeng terjadi secara horizontal ataukah vertikal. Untuk ini mereka butuh 3-5 menit lagi karena pengestimasian gerakan lempeng ini tidak bisa realtime. Nah, jika keempat kriteria itu terpenuhi maka peringatan disampaikan.


Ketika gempa kemaren itu terjadi, BMKG merilis peringatan dini bahwa ada ancaman tsunami. SOP mereka memberikan batasan waktu bahwa pengumuman itu berlaku 40-50 menit, sesuai dengan perkiraan kecepatan laju gelombang ke daratan yang berdekatan.


Nah, ini masalahnya.


Setelah rentang itu berlalu, BMKG "mengakhiri" peringatan tsunami. Media, dan tentu saja anda tahu, didahului oleh politisi pandir, mempertanyakan mengapa BMKG mencabut peringatan tersebut.


Mencabut? BMKG membantah bahwa mereka mencabut peringatan tersebut dan memang itu yang terjadi. Mencabut berarti bahwa BMKG menyatakan bahwa peringatan yang lalu adalah peringatan palsu, false alarm. Padahal, fakta sebenarnya, BMKG tahu tsunami itu ada sehingga itu yang membuat mereka merilis peringatan tersebut.


Lalu, apa bedanya dengan "mengakhiri"?


Nah, ini yang tidak dipahami oleh politisi pandir di DPR dan media yang rakus pertengkaran. Kata "mengakhiri" peringatan adalah istilah yang benar. Bayangkan diri anda ada sedang mendengar kepala sekolah atau pemimpin (bukan pimpinan, lho) di perusahaan anda memberikan pengumuman tentang sesuatu. Ketika ia selesai memberi pengumuman itu apakah anda akan mengatakan bahwa ia telah "mengakhiri" pengumuman atau "mencabut" pengumuman?


Misalnya begini,


"Kami umumkan bahwa juara umum tahun ini adalah siswa Rahmat Febrianto" atau
"Tunjangan akan dinaikkan menjadi 200%".


Jika pengumuman itu dicabut, apa yang anda simpulkan? Bukankah itu artinya bahwa si Rahmat itu batal menjadi juara umum? Bukankah artinya bahwa tunjangan tidak jadi naik 200%?


Contoh lain.


Di sebagian tempat di Indonesia masih ada masyarakat yang berkeliling kampung memukul-mukul panci, kuali, atau kentongan untuk membangunkan orang yang akan bersahur untuk puasa. Apakah, ketika mereka pulang masing-masing untuk bersahur, mereka "mengakhiri" pengumuman mereka atau "mencabut" pengumuman mereka? Ya, jelas, mereka mengakhiri pengumuman mereka! Kalau mereka mencabut pengumuman itu bisa bonyok mereka oleh tinju orang sekampung yang telah dibangunkan.


Kalau kita membayangkan secara sederhana, selama 50 menit setelah gempa dideteksi akan memicu tsunami, BMKG berteriak-teriak di pelantang suara mengumumkan agar bersiap-siap terhadap tsunami. Lalu, ketika 50 menit berlalu, mereka mengakhiri pengumuman itu.


Mengapa mengakhiri? Coba saja bayangkan seperti apa jadinya orang-orang yang membangunkan orang untuk bersahur tadi kalau mereka tidak mengakhiri pengumuman keliling mereka? Bisa-bisa sampai sahur besok mereka atau malah hingga lebaran masih akan membuat pengumuman tanpa henti !


Kesal saya pada politisi yang pandir dan media yang sok pintar!




Sleman, 28 Oktober 2010


Kami putra-putri Indonesia bersumpah akan belajar bahasa Indonesia yang baik dan benar dan menggunakannya untuk tujuan yang baik dan benar!
By Rahmat Febrianto On Thursday, October 28, 2010 At 7:05 PM

Celeng dan celengan

Di usia anak saya yang memasuki dua tahun, saya memberinya hadiah sebuah celengan. Namun, yang saya utamakan adalah bagaimana membuat dia agar mau menabung. Anak kecil, usia kurang daripada dua tahun pasti  belum tahu konsep uang. Baginya akan sama saja antara uang dengan bukan uang, koin di pusat permainan misalnya.

Kebetulan, sebelum dia berulangtahun kedua, saya melihat ada celengan bergambar tokoh kartun Upin dan Ipin. Nah, saya langsung terbayang cara untuk membiasakan dia menabung.

Celengan itu saya beli dan bawa pulang. Di rumah, saya lalu memberikan kepadanya celengan itu sebagai hadiah ulangtahun, sambil memberikan selembar uang, "Ayo kasih makan Upin dan Ipin".

Nah, ide ini ternyata ia sukai. Upin dan Ipin memang tokoh yang suka makan, terutama yang berupa ayam. Jadi, sesuai jika Upin dan Ipin diberi makan.

Setiap hari saya selalu memberinya uang dan ia dengan senang hati mengambil celengan Upin dan Ipin-nya lalu memberi keduanya "makan".

Suatu hari ketika sedang meracak motor, di depan saya ada seseorang yang membawa beberapa ikat celengan dari ayam. Saat itu satu pertanyaan muncul di benak saya.

Di rumah saat itu yang ada hanya kamus susunan Poerwadarminta. Di lema celeng saya menemukan arti sebagai babi liar atau babi hutan. Lalu di bawahnya, sebagai turunan kata celeng saya menemukan lema celengan yaitu tabung pekak untuk menyimpan uang.

Di KBI Pusat Bahasa dan KBBI, tabung pekak didefinisikan sebagai "celengan yang pada mulanya terbuat dari bambu".

Nah, ini yang menarik. Di KBI dan KBBI celeng dan celengan adalah dua lema yang berbeda. Karena dijadikan dua lema yang berbeda, makanya penjelasan bahwa tabung pekak itu pada mulanya terbuat dari bambu menjadi masuk akal.

Sebaliknya, Poerwadarminta justru menunjukkan bahwa celengan adalah turunan dari celeng. Kalau kita menafsirkannya, maka kita bersimpulan bahwa pada awalnya celengan berbentuk babi atau setidaknya, walaupun dulu celengan berasal dari bambu, mungkin saja bentuk celengan yang paling terkenal adalah yang berwujud babi seperti di bawah ini.


Mungkin saja, ketika binatang-binatang lain dijadikan celengan, istilah celengan lebih dulu melekat sehingga tidak ada yang disebut ayaman, sapian, atau kudaan.

Saya tidak tahu mana yang benar dari asal kata celengan ini. Tapi ada yang menarik dari perdebatan antara Majalah Tempo dan Polri tentang hubungan polisi, celeng, dan celengan di gambar di atas. Silakan ikuti tautan di atas. Tempo sepertinya mengacu ke KBI dan KBBI dan Polri sepertinya perlu melihat kamus Poewadarminta.


Sleman, 1 Oktober 2010
By Rahmat Febrianto On Friday, October 1, 2010 At 3:37 PM